Tugas Terstruktur 5
Diagram Siklus Hidup Produk (Life Cycle Diagram)
a. Ekstraksi bahan baku
→ Penambangan minyak bumi (untuk plastik PET)
→ Produksi bahan aditif & pewarna
b. Produksi
→ Pembuatan granulat PET → pembentukan botol (melting & blowing)
→ Konsumsi energi listrik dan air
c. Distribusi
→ Transportasi ke pabrik pengisian & toko
→ Penggunaan bahan bakar fosil
d. Konsumsi (penggunaan)
→ Digunakan oleh konsumen beberapa kali (asumsi: 3 bulan)
→ Terjadi pencucian, paparan panas, dll
e. Pengelolaan limbah
→ Pembuangan ke TPA, daur ulang sebagian, atau terbakar di insinerator
Batas Sistem & Asumsi
Batas sistem:
-
Mencakup seluruh proses dari bahan baku → limbah akhir.
-
Termasuk transportasi dan energi listrik pabrik.
-
Tidak mencakup tahap penggunaan ulang (reuse di rumah tangga).
Asumsi:
-
Masa pakai 3 bulan.
-
1 botol berbahan PET (polyethylene terephthalate).
-
50% limbah masuk TPA, 30% didaur ulang, 20% dibakar.
-
Distribusi dalam radius 100 km menggunakan truk diesel.
Narasi Analisis
Analisis Siklus Hidup Botol Minum Plastik PET
Produk yang dipilih dalam analisis ini adalah botol minum plastik berbahan PET (Polyethylene Terephthalate). Pemilihan produk ini didasarkan pada fakta bahwa botol plastik merupakan salah satu produk konsumsi paling umum yang memiliki dampak signifikan terhadap lingkungan. Dalam konteks keberlanjutan, penggunaan botol plastik sekali pakai menjadi isu penting karena berkaitan langsung dengan masalah limbah dan pencemaran plastik di ekosistem laut maupun darat.
Pendekatan Life Cycle Thinking (LCT) digunakan untuk memahami dampak lingkungan dari setiap tahap kehidupan produk. Analisis ini mencakup lima tahap utama: ekstraksi bahan baku, produksi, distribusi, konsumsi, dan pengelolaan limbah. Batas sistem yang digunakan meliputi seluruh proses dari penambangan minyak bumi sebagai bahan baku plastik hingga pengelolaan limbah setelah digunakan konsumen. Analisis ini tidak mencakup tahap penggunaan ulang di rumah tangga karena fokus diarahkan pada siklus satu kali penggunaan.
Pada tahap ekstraksi bahan baku, proses produksi plastik PET membutuhkan minyak bumi sebagai sumber utama. Aktivitas penambangan dan penyulingan minyak bumi menghasilkan emisi gas rumah kaca (CO₂, CH₄) serta potensi pencemaran tanah dan air. Tahap produksi juga berkontribusi besar terhadap dampak lingkungan melalui konsumsi energi listrik dan air. Proses peleburan dan pencetakan botol mengeluarkan emisi karbon tambahan serta menghasilkan limbah padat seperti sisa resin plastik.
Tahap distribusi berkontribusi terhadap emisi akibat penggunaan bahan bakar fosil untuk transportasi. Setiap kilometer perjalanan truk menambah jejak karbon produk. Selanjutnya, pada tahap konsumsi, meskipun dampaknya relatif kecil, penggunaan berulang dan pencucian botol tetap melibatkan energi (air dan sabun) yang berpotensi menambah beban lingkungan.
Tahap terakhir, pengelolaan limbah, menjadi aspek paling kritis. Sebagian besar botol PET di Indonesia berakhir di TPA atau mencemari lingkungan karena rendahnya tingkat daur ulang. Pembakaran botol menghasilkan emisi toksik, sedangkan penumpukan di TPA menimbulkan degradasi tanah dan mikroplastik. Daur ulang menjadi opsi paling berkelanjutan, namun terkendala sistem pengumpulan dan infrastruktur daur ulang yang belum optimal.
Untuk mengurangi dampak lingkungan, produk ini dapat didisain ulang dengan menggunakan bahan daur ulang (rPET), memperpanjang masa pakai melalui desain yang lebih kuat, atau mengganti kemasan ke material biodegradable seperti PLA (Polylactic Acid). Edukasi konsumen tentang pentingnya penggunaan ulang dan sistem pengumpulan botol juga menjadi faktor penting dalam mewujudkan ekonomi sirkular di sektor kemasan plastik.
Melalui analisis Life Cycle Thinking, dapat disimpulkan bahwa setiap tahap siklus hidup produk memiliki dampak lingkungan yang saling berkaitan. Pendekatan ini membantu memahami bahwa upaya keberlanjutan tidak cukup hanya pada tahap akhir (daur ulang), tetapi harus mencakup seluruh sistem produksi hingga konsumsi secara menyeluruh.

Komentar
Posting Komentar